Senin, 04 Maret 2013

Dunia Mara

Pintu utama rumah tak berpagar itu nampak sedikit menganga.Sebuah pemandangan tak biasa bagi Mara,gadis dengan mata indah nan ekspresif,bersorot tegas,memiliki alis tebal yang rapi alami ibarat akan melenggang pada runway musim seminya Oscar de la Renta.

Jadi tanpa berfikir dua kali,ia datangi pos satpam disamping gerbang cluster kecil itu.Si pak satpam berperut tambun tergesa-gesa menghabiskan sisa mie ayam sebelum ia habis diinterogasi,atau lebih parah lagi,didamprat.

Mara tak mengizinkan itu terjadi.
"Ibu kan lagi pergi,pak.Kok pintu bisa terbuka?"
Ia ingat jelas,sampai kini hanya dirinya dan ibu yang tinggal dirumah mungil dominasi warna abu-abu tersebut.Tidak pernah ada pembantu rumah tangga,tamu,...........
"Tukang pipa katanya, Non.Baru saja datang...."
Apalagi tukang pipa.

Mara meraih benda terdekat disisi bangunan pos satpam,sebuah tongkat besi yang ujungnya patah dan berkarat,tak hanya terkesan tajam namun juga tidak steril..........dan berjalan kearah pintu terbuka itu.
Figur semampai yang belakangan jadi lebih atletis karena rajin diolah di gym membuat beberapa pembantu rumah tangga sebelah yang tengah ngerumpi,melirik iri seraya mengumpat didalam hati.Orang kota selalu punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal nggak penting seperti merawat tubuh demi cantik.

Perasaan Mara berdebar-debar lantaran tahu ada yang tidak beres terjadi dan ia kecolongan......Pak Muji kecolongan......
Rambut Mara yang tidak dikuncir berkibar leluasa saat ia memasuki rumah .
Dua pria berseragam hitam-hitam terperanjat sesaat lalu cepat-cepat mengoreksi mimik mereka.Yang kurus dan bertato daun ganja lebih cepat bereaksi."Eh, ibu.Sudah pulang ?" tuturnya santun,kedua tangannya tanpa berdosa meletakkan MacBook pada ambalan serba putih di foyer.

"Tukang pipa,eh?" Mara yang sepanjang hidupnya terbiasa mengayunkan toya,senjata bela diri tongkat panjang favoritnya,langsung menjulurkan ujung benda berkarat itu kearah si pria kurus .Pria yang lebih pendek,lebih gemuk satunya lagi perlahan mengeluarkan pisau dari saku celananya,yakin calon korbannya pasti tidak memerhatikan langkahnya.

Sebuah tendangan melesat telak kewajahnya.Menurut Mara orang ini seharusnya bersyukur karena hak ankle boots nya tidak terlalu runcing.

"Pak Mujiiiii...!" secepat angin Mara menjulurkan lagi toya-nya hingga melukai lengan kedua orang itu secara bersamaan.

"Panggil orang-orang tongkrongan depan,lalu polisi.SEKARANG!"

Hanya dalam hitungan menit,rumah Mara dipenuhi orang-orang tak dikenal yang menjaga dua maling apes ini.Sebagian besar dari mereka sekedar menonton dan melihat interior rumah dengan pandangan kagum.
Dan kurang dari sejam,reporter TV sudah memaksa Mara menceritakan kronologi perampokan disiang hari yang terik ini.Mara tak menghiraukan sodoran mic kearahnya dan langsung memeriksa kondisi diruang tamu.
Rumahnya dipenuhi kardus,mirip seperti orang akan pindahan.Hanya terdapat sofa,standing lamp minimalis,dan rak buku yang tak sedikitpun buku-bukunya tersentuh,tentu saja perampok takkan berminat terhadap barang satu ini.

Lalu mata Mara menemukan sesuatu yang berkilauan terjepit diantara diantara kardus,ia memungutnya dengan kening mengernyit .Benda ditangannya gemerlap seperti perhiasan..emas..namun bentuknya tidak cukup indah untuk disebut logam mulia itu.Ukurannya hanya sebesar kuku ibu jarinya.Pada permukaannya terdapat goresan ornamen yang membentuk sebuah simbol asing.Seperti bukan dari Indonesia.
Seorang reporter menyerobot masuk.Mara segera mengantongi benda mungil yang ia yakini bukan perhiasan milik ibunya.

"pak saya sedang terburu-buru .Harus kekampus lagi saat ini juga."
sireporter sibuk mengulur kabel mic,tak acuh terhadap apapun kecuali berita yang harus dikoreknya dari gadis ini."sebentar ya Mbak,saya tarik ini dulu.Kamera,siap?"ia berpaling kepetugas pembawa kamera.
"saya yang tidak siap,Pak." Mara sedikit membentak namun tidak digubris.
"Sebentar saja.Saya butuh wawancara ini dan Mbak bisa masuk TV." Si reporter tidak menyadari sikapnya yang tidak patut.Ia lebih takut pada bentakan si bos apabila beritanya tak mampu mendongkrak rating.
"What? Anda butuh berita,tapi saya butuh lulus!" Mara lalu geleng-geleng kepala,gemas.Masuk TV? Itu hal terakhir yang ia butuhkan saat ini.Sialnya wajah ibu malah hadir dikalbunya lengkap dengan wejangan "Mara,jangan lupa bantu orang lain,ya.Kepentingan kita pasti tidak seberapa dobanding kepentingannya yang mendesak."

Mendesak? Bagaimana ia tahu itu mendesak atau tidak?! batin Mara,seolah-olah ingin menghalaunya.Sebuah nafas panjang terdengar halus.

"Sepuluh menit paling lama.Kalau saya sampai nggak lulus presentasi Kerja Praktek ini...."
"Sip! terima kasih, Non.Memang beda ya perempuan baik-baik itu.

Kedua alis Mara terpicing heran.Oh,jadi kini ia adalah si perempuan baik-baik karena mengabulkan permintaan si pencari berita yang walau berpenampilan rapi tapi nampak kurang tidur,seperti dirinya.I sure hope we never meet again,batinnya.

Bagaimana pendapat Mbak tentang kejahatan masa kini yang semakin berani? Apakah Mbak trauma?Apakah Mbak memang sudah membekali diri dengan ilmu bela diri hingga dapat membekuk mereka seorang diri?"

Ilmu bela diri.Ah,Mara akan selalu berterima kasih kepada mendiang Pakde yang selalu meluangkan waktu untuk menjadikan bela diri sebagai nafas keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar