Pintu utama rumah tak berpagar itu nampak sedikit menganga.Sebuah
pemandangan tak biasa bagi Mara,gadis dengan mata indah nan
ekspresif,bersorot tegas,memiliki alis tebal yang rapi alami ibarat akan
melenggang pada runway musim seminya Oscar de la Renta.
Jadi tanpa berfikir dua kali,ia datangi pos satpam disamping gerbang cluster
kecil itu.Si pak satpam berperut tambun tergesa-gesa menghabiskan sisa
mie ayam sebelum ia habis diinterogasi,atau lebih parah lagi,didamprat.
Mara tak mengizinkan itu terjadi.
"Ibu kan lagi pergi,pak.Kok pintu bisa terbuka?"
Ia
ingat jelas,sampai kini hanya dirinya dan ibu yang tinggal dirumah
mungil dominasi warna abu-abu tersebut.Tidak pernah ada pembantu rumah
tangga,tamu,...........
"Tukang pipa katanya, Non.Baru saja datang...."
Apalagi tukang pipa.
Mara
meraih benda terdekat disisi bangunan pos satpam,sebuah tongkat besi
yang ujungnya patah dan berkarat,tak hanya terkesan tajam namun juga
tidak steril..........dan berjalan kearah pintu terbuka itu.
Figur
semampai yang belakangan jadi lebih atletis karena rajin diolah di gym
membuat beberapa pembantu rumah tangga sebelah yang tengah
ngerumpi,melirik iri seraya mengumpat didalam hati.Orang kota selalu
punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal nggak penting seperti merawat
tubuh demi cantik.
Perasaan Mara berdebar-debar lantaran tahu ada yang tidak beres terjadi dan ia kecolongan......Pak Muji kecolongan......
Rambut Mara yang tidak dikuncir berkibar leluasa saat ia memasuki rumah .
Dua
pria berseragam hitam-hitam terperanjat sesaat lalu cepat-cepat
mengoreksi mimik mereka.Yang kurus dan bertato daun ganja lebih cepat
bereaksi."Eh, ibu.Sudah pulang ?" tuturnya santun,kedua tangannya tanpa
berdosa meletakkan MacBook pada ambalan serba putih di foyer.
"Tukang
pipa,eh?" Mara yang sepanjang hidupnya terbiasa mengayunkan
toya,senjata bela diri tongkat panjang favoritnya,langsung menjulurkan
ujung benda berkarat itu kearah si pria kurus .Pria yang lebih
pendek,lebih gemuk satunya lagi perlahan mengeluarkan pisau dari saku
celananya,yakin calon korbannya pasti tidak memerhatikan langkahnya.
Sebuah tendangan melesat telak kewajahnya.Menurut Mara orang ini seharusnya bersyukur karena hak ankle boots nya tidak terlalu runcing.
"Pak Mujiiiii...!" secepat angin Mara menjulurkan lagi toya-nya hingga melukai lengan kedua orang itu secara bersamaan.
"Panggil orang-orang tongkrongan depan,lalu polisi.SEKARANG!"
Hanya
dalam hitungan menit,rumah Mara dipenuhi orang-orang tak dikenal yang
menjaga dua maling apes ini.Sebagian besar dari mereka sekedar menonton
dan melihat interior rumah dengan pandangan kagum.
Dan kurang dari
sejam,reporter TV sudah memaksa Mara menceritakan kronologi perampokan
disiang hari yang terik ini.Mara tak menghiraukan sodoran mic kearahnya
dan langsung memeriksa kondisi diruang tamu.
Rumahnya dipenuhi kardus,mirip seperti orang akan pindahan.Hanya terdapat sofa,standing lamp minimalis,dan rak buku yang tak sedikitpun buku-bukunya tersentuh,tentu saja perampok takkan berminat terhadap barang satu ini.
Lalu
mata Mara menemukan sesuatu yang berkilauan terjepit diantara diantara
kardus,ia memungutnya dengan kening mengernyit .Benda ditangannya
gemerlap seperti perhiasan..emas..namun bentuknya tidak cukup indah
untuk disebut logam mulia itu.Ukurannya hanya sebesar kuku ibu
jarinya.Pada permukaannya terdapat goresan ornamen yang membentuk sebuah
simbol asing.Seperti bukan dari Indonesia.
Seorang reporter menyerobot masuk.Mara segera mengantongi benda mungil yang ia yakini bukan perhiasan milik ibunya.
"pak saya sedang terburu-buru .Harus kekampus lagi saat ini juga."
sireporter
sibuk mengulur kabel mic,tak acuh terhadap apapun kecuali berita yang
harus dikoreknya dari gadis ini."sebentar ya Mbak,saya tarik ini
dulu.Kamera,siap?"ia berpaling kepetugas pembawa kamera.
"saya yang tidak siap,Pak." Mara sedikit membentak namun tidak digubris.
"Sebentar
saja.Saya butuh wawancara ini dan Mbak bisa masuk TV." Si reporter
tidak menyadari sikapnya yang tidak patut.Ia lebih takut pada bentakan
si bos apabila beritanya tak mampu mendongkrak rating.
"What? Anda
butuh berita,tapi saya butuh lulus!" Mara lalu geleng-geleng
kepala,gemas.Masuk TV? Itu hal terakhir yang ia butuhkan saat
ini.Sialnya wajah ibu malah hadir dikalbunya lengkap dengan wejangan
"Mara,jangan lupa bantu orang lain,ya.Kepentingan kita pasti tidak
seberapa dobanding kepentingannya yang mendesak."
Mendesak?
Bagaimana ia tahu itu mendesak atau tidak?! batin Mara,seolah-olah
ingin menghalaunya.Sebuah nafas panjang terdengar halus.
"Sepuluh menit paling lama.Kalau saya sampai nggak lulus presentasi Kerja Praktek ini...."
"Sip! terima kasih, Non.Memang beda ya perempuan baik-baik itu.
Kedua
alis Mara terpicing heran.Oh,jadi kini ia adalah si perempuan baik-baik
karena mengabulkan permintaan si pencari berita yang walau
berpenampilan rapi tapi nampak kurang tidur,seperti dirinya.I sure hope
we never meet again,batinnya.
Bagaimana pendapat Mbak
tentang kejahatan masa kini yang semakin berani? Apakah Mbak
trauma?Apakah Mbak memang sudah membekali diri dengan ilmu bela diri
hingga dapat membekuk mereka seorang diri?"
Ilmu bela
diri.Ah,Mara akan selalu berterima kasih kepada mendiang Pakde yang
selalu meluangkan waktu untuk menjadikan bela diri sebagai nafas
keduanya.
duduk dibawah atap saung di pinggir pantai sambil membaca cerita santai,lucu,kocak,dongeng sambil menyeruput es kelapa muda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar